Senin, 30 Desember 2013

Cerpen "Tinta Merah Untuk Galang"


Luna . . .
                Aku tak pernah ingin mengenal dia. Tapi mata coklatnya tak bisa hilang di otakku. Tubuh tegap itu selalu duduk bersama teman satu geng nya di sudut belakang sekolah. Tepat lurus tiga meja di depanku setiap kali aku makan siang. Seusai pelajaran dia selalu menggeber motornya menuju angkringan, lima puluh meter dari sekolah. Berandalan ini akan duduk di bangku paling kiri dengan menaikkan satu kaki ke kursi. Lalu menyalakan pemantik untuk rokok di sela-sela jarinya. Obrolan panjang di angkringan itu akan berujung pada sebuah kesepakatan. Taruhan berapa rupiah untuk nanti malam.
Galang . . .
                “ Aku tahu kemampuanmu terlalu berharga dipertaruhkan”. Surat tinta merah terakhir terselip di buku matematika. Huft . . . masih tanpa nama. Untuk kesekian kalinya pengecut sok tau ini mengguruiku dengan kata-kata aneh. “ Tunda balapanmu, esok masa depanmu diuji”. Inilah inti dari setiap suratnya. Pertama, lima bulan lalu dan hampir setiap hari. Hingga saat ini, semoga ini yang terakhir. Tepat sehari sebelum ulangan kenaikan kelas. Beberapa menit setelah aku menyanggupi taruhan besar malam nanti. “Balapan itu tentang adu keahlian, bukan pelampiasan maupun luapan emosi”. Entah bagaimana si pengecut ini tahu, nanti malam aku membalap karena semalam orangtuaku bertengkar lagi. Dan entah kenapa, lagi-lagi pengecut ini benar.

* * *

                Aku masih bersandar dimotor sampai sekarang. Deru mesinnya telah lama ku padamkan. Dingin, sudah pukul dua pagi. Satu jam setelah aspal ini menyaksikan aku berguling di atasnya. Disusul goresan-goresan pada sekujur tubuhku. Meratapi luka baru yang aku dapatkan setelah balapan malam ini usai. Perih, sungguh perih terkena tetesan air hujan yang turun perlahan menyapu kesunyian pagi ini.
                Aku memandang  ke rumah di ujung jalan. Ya, jalan ini yang di sulap menjadi sirkuit terlarang. Lengkap dengan dokumen palsunya. Pelan-pelan ku ratapi rutinitas kehidupanku. Sambil terdiam memandangi rumah besar bercat hijau tua itu. Pagarnya yang tinggi dengan pintu gerbang utama bertralis besi. Arggghh… itu rumah Eza. Seandainya dia masih ada. Sahabat malam yang tag pernah letih mendengar keluhanku. Dan membalasnya dengan tawa cekikikan di sela-sela nasihatnya. Dia yang meskipun sama-sama pembalap liar, selalu saja memaksaku menekuni balapan secara professional. Dia itu munafik tapi benar. Teman malamku yang malang, lima bulan lalu telah mengakhiri balapannya di bawah roda truk bermuatan semen. Aku masih ingat betul, nada tawa cekikikan itu beberapa menit sebelum ia membalap. Dia mengejekku pengecut bernyali katak, tak tahu bahwa kunci masa depanku sudah di tangan. Begitu kata terakhirnya yang menjadi rekaman semangat hidupku membalap. Dia benar, selalu benar. Dan itu hidup dalam ingatanku.
                Awalnya, aku memang tak suka balap. Tapi karena ajakan dan dukungan teman-teman, aku pun bisa menikmatinya. Jordie, orang pertama yang menghasutku. Suatu saat ketika pulang sekolah. Aku, Eza, Jordie, dan beberapa teman lain bermaksud jalan-jalan keliling kota. Saat di jalan raya, aku tertinggal rombongan. Menyadari hal itu, aku pun segera menyusul mereka yang sudah jauh didepan. Aku menyalip beberapa kendaraan besar, menarik kopling sekuat tenaga dan berkali-kali membanting stang. Tragisnya, tindakan berbahaya tersebut malah ku jadikan kebiasaan. Kebiasaan itu tanpa ku sadari telah menyihir otakku beranggapan bahwa jalan raya ini sepenuhnya adalah milikku. Cocok sebagai arena balap yang kondusif dan sangatlah memacu adrenalin. Sampai akhirnya hal yang paling ku takutkan terjadi. Salah satunya malam ini. Perasaan kecewa karena malu dan gengsi, di tambah lagi tubuhku lecet-lecet. Dan yang terpenting. Motor kesayanganku dengan biaya modifikasi melebihi separuh dari harganya. Kini tampak usang dipenuhi  goresan aspal pada bagian-bagian termahalnya. Semua itu membuatku terperosok dalam. Ternyata ini yang mereka rasakan ketika menerima kekalahan. Aku tak pernah berfikir sejauh ini. Selama ini aku hanya membayangkan betapa kayanya aku ketika memenangkan sebuah taruhan.
                 ***
                Pagi ini, aku memutuskan tidur di gardu ronda di seberang  jalan ini. Cukup dekat dari tempat dimana aku bersandar sekarang. Pelan-pelan aku menuntun motorku menuju ke sana. Sepi, tak ada seorang pun yang berjaga. Aku segera merebahkan tubuhku di gardu tersebut. Ingin rasanya ku pejamkan mataku untuk selamanya. Tapi, aku merasa ada yang menyelipkan sesuatu diantara jari jemariku. Aku membuka mata dan melihat benda tersebut dengan masih tertidur. Surat tinta merah. Kali ini ada namanya. Dan apalagi ini? Surat tawaran dari sebuah klub balap ternama di Jogja. Hah??? Sungguh aku tak percaya namaku terpampang disitu. Ku kira ini hanya mimpi. Namun aku tersadar ketika ku baca nama si pengirim surat. Satria Erza Saputra. Mana mungkin? Ini sungguh keluar dari logika. Aku pun menengok ke belakang dan seorang cewek anggun duduk di dekat kakiku. Luna? Luna Adindya Winata, adik dari Jordie Aditya Winata. Dan bekas pacar Eza. Kenapa dia ada disini???
                “Jangan bingung mas. Aku yang kirim semua ini padamu” tuturnya. Sungguh, gadis ini mapu membuatku ternganga. Dia, dia yang duduk tiga meja didepan aku biasa makan siang. Adik kelas yang tak pernah melepas pandanganya dari semua gerak-gerikku.
                “Eza harap, mas bisa menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Dia memintaku memberikan padamu disaat yang tepat. Aku tak tau kapan saat itu. Aku hanya merasa saat ini Mas sudah cukup dewasa memilah jalan hidupmu sendiri. Lagipula, aku lelah menasihatimu tiap hari lewat suratku. Kamu hanya membuangnya di laci tempat dudukmu.” Ungkapnya.
                “ Kamu? Memperhatikanku? Untuk apa?”
                “Sebelum Eza meninggal, dia menitipkan surat ini padaku. Dia bilang, kamu cukup dekat dengan Mas Jordie. Semenjak itu aku memperhatikanmu. Awalnya, niatku murni demi harapan Eza membuatmu berhenti membalap liar. Tapi….. ternyata sulit, aku menyerah Mas! “ katanya diakhiri nada sedikit meninggi. Ada kepedihan yang mendalam dimatanya. Bukan karena kehilangan seorang yang pernah dicintainya. Tetapi seperti kekecewaan yang teramat sangat kepada seseorang didepannya. Itu aku. “Lun, maafin aku” ujarku perlahan. Luna mulai brjalan perlahan menuju rumahnya. Tiga rumah berseberangan dengan rumah Eza. Aku mengikutinya sampai ia berhenti di depan pagar rumahnya. “ Mas Galang, tak ada yang salah. Aku pasti akan menyesal kalau aku ndak bisa mewujudkan harapan Eza.” Aku melihat setetes airmata dipipinya. Isak tangisnya terdengar menyatu dalam ucapannya tadi.
                “Lun, makasih. Kamu masih sudi memperhatikanku sampai sepagi ini. Dan sempat melihatku terpuruk dalam kekalahan. Maaf Lun . . .” ucapanku tak mampu menahan sesalku ini. Luna masih menungguku mmengucapkan sesuatu. “Lun, ajari pengecut ini menggunakan kunci masa depannya. Ajari aku Lun. Aku Mohon” Luna hanya mengangguk sekali. Dia pun masuk dan menutup pintu gerbang rumahnya tanpa menengok ke arahku. Aku tersenyum dan mempunyai semangat baru menanti surat tinta merah dari dewi penolongku.





#    #   #




Tidak ada komentar: