Luna . . .
Aku tak pernah ingin
mengenal dia. Tapi mata coklatnya tak bisa hilang di otakku. Tubuh tegap itu
selalu duduk bersama teman satu geng nya di sudut belakang sekolah. Tepat lurus
tiga meja di depanku setiap kali aku makan siang. Seusai pelajaran dia selalu menggeber
motornya menuju angkringan, lima puluh meter dari sekolah. Berandalan ini akan
duduk di bangku paling kiri dengan menaikkan satu kaki ke kursi. Lalu
menyalakan pemantik untuk rokok di sela-sela jarinya. Obrolan panjang di
angkringan itu akan berujung pada sebuah kesepakatan. Taruhan berapa rupiah
untuk nanti malam.
Galang . . .
“ Aku tahu
kemampuanmu terlalu berharga dipertaruhkan”. Surat tinta merah terakhir
terselip di buku matematika. Huft . . . masih tanpa nama. Untuk kesekian
kalinya pengecut sok tau ini mengguruiku dengan kata-kata aneh. “ Tunda
balapanmu, esok masa depanmu diuji”. Inilah inti dari setiap suratnya. Pertama,
lima bulan lalu dan hampir setiap hari. Hingga saat ini, semoga ini yang
terakhir. Tepat sehari sebelum ulangan kenaikan kelas. Beberapa menit setelah
aku menyanggupi taruhan besar malam nanti. “Balapan itu tentang adu keahlian,
bukan pelampiasan maupun luapan emosi”. Entah bagaimana si pengecut ini tahu,
nanti malam aku membalap karena semalam orangtuaku bertengkar lagi. Dan entah
kenapa, lagi-lagi pengecut ini benar.
* * *
Aku masih bersandar
dimotor sampai sekarang. Deru mesinnya telah lama ku padamkan. Dingin, sudah
pukul dua pagi. Satu jam setelah aspal ini menyaksikan aku berguling di
atasnya. Disusul goresan-goresan pada sekujur tubuhku. Meratapi luka baru yang
aku dapatkan setelah balapan malam ini usai. Perih, sungguh perih terkena
tetesan air hujan yang turun perlahan menyapu kesunyian pagi ini.
Aku memandang ke rumah di ujung jalan. Ya, jalan ini yang
di sulap menjadi sirkuit terlarang. Lengkap dengan dokumen palsunya.
Pelan-pelan ku ratapi rutinitas kehidupanku. Sambil terdiam memandangi rumah
besar bercat hijau tua itu. Pagarnya yang tinggi dengan pintu gerbang utama
bertralis besi. Arggghh… itu rumah Eza. Seandainya dia masih ada. Sahabat malam
yang tag pernah letih mendengar keluhanku. Dan membalasnya dengan tawa
cekikikan di sela-sela nasihatnya. Dia yang meskipun sama-sama pembalap liar,
selalu saja memaksaku menekuni balapan secara professional. Dia itu munafik
tapi benar. Teman malamku yang malang, lima bulan lalu telah mengakhiri
balapannya di bawah roda truk bermuatan semen. Aku masih ingat betul, nada tawa
cekikikan itu beberapa menit sebelum ia membalap. Dia mengejekku pengecut
bernyali katak, tak tahu bahwa kunci masa depanku sudah di tangan. Begitu kata
terakhirnya yang menjadi rekaman semangat hidupku membalap. Dia benar, selalu
benar. Dan itu hidup dalam ingatanku.
Awalnya, aku memang
tak suka balap. Tapi karena ajakan dan dukungan teman-teman, aku pun bisa
menikmatinya. Jordie, orang pertama yang menghasutku. Suatu saat ketika pulang
sekolah. Aku, Eza, Jordie, dan beberapa teman lain bermaksud jalan-jalan
keliling kota. Saat di jalan raya, aku tertinggal rombongan. Menyadari hal itu,
aku pun segera menyusul mereka yang sudah jauh didepan. Aku menyalip beberapa
kendaraan besar, menarik kopling sekuat tenaga dan berkali-kali membanting
stang. Tragisnya, tindakan berbahaya tersebut malah ku jadikan kebiasaan.
Kebiasaan itu tanpa ku sadari telah menyihir otakku beranggapan bahwa jalan
raya ini sepenuhnya adalah milikku. Cocok sebagai arena balap yang kondusif dan
sangatlah memacu adrenalin. Sampai akhirnya hal yang paling ku takutkan
terjadi. Salah satunya malam ini. Perasaan kecewa karena malu dan gengsi, di
tambah lagi tubuhku lecet-lecet. Dan yang terpenting. Motor kesayanganku dengan
biaya modifikasi melebihi separuh dari harganya. Kini tampak usang
dipenuhi goresan aspal pada
bagian-bagian termahalnya. Semua itu membuatku terperosok dalam. Ternyata ini
yang mereka rasakan ketika menerima kekalahan. Aku tak pernah berfikir sejauh
ini. Selama ini aku hanya membayangkan betapa kayanya aku ketika memenangkan
sebuah taruhan.
***
Pagi ini, aku
memutuskan tidur di gardu ronda di seberang jalan ini. Cukup dekat dari tempat dimana aku
bersandar sekarang. Pelan-pelan aku menuntun motorku menuju ke sana. Sepi, tak
ada seorang pun yang berjaga. Aku segera merebahkan tubuhku di gardu tersebut.
Ingin rasanya ku pejamkan mataku untuk selamanya. Tapi, aku merasa ada yang
menyelipkan sesuatu diantara jari jemariku. Aku membuka mata dan melihat benda
tersebut dengan masih tertidur. Surat tinta merah. Kali ini ada namanya. Dan
apalagi ini? Surat tawaran dari sebuah klub balap ternama di Jogja. Hah???
Sungguh aku tak percaya namaku terpampang disitu. Ku kira ini hanya mimpi.
Namun aku tersadar ketika ku baca nama si pengirim surat. Satria Erza Saputra.
Mana mungkin? Ini sungguh keluar dari logika. Aku pun menengok ke belakang dan
seorang cewek anggun duduk di dekat kakiku. Luna? Luna Adindya Winata, adik
dari Jordie Aditya Winata. Dan bekas pacar Eza. Kenapa dia ada disini???
“Jangan bingung mas.
Aku yang kirim semua ini padamu” tuturnya. Sungguh, gadis ini mapu membuatku
ternganga. Dia, dia yang duduk tiga meja didepan aku biasa makan siang. Adik
kelas yang tak pernah melepas pandanganya dari semua gerak-gerikku.
“Eza harap, mas bisa
menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Dia memintaku memberikan padamu
disaat yang tepat. Aku tak tau kapan saat itu. Aku hanya merasa saat ini Mas
sudah cukup dewasa memilah jalan hidupmu sendiri. Lagipula, aku lelah
menasihatimu tiap hari lewat suratku. Kamu hanya membuangnya di laci tempat
dudukmu.” Ungkapnya.
“ Kamu?
Memperhatikanku? Untuk apa?”
“Sebelum Eza
meninggal, dia menitipkan surat ini padaku. Dia bilang, kamu cukup dekat dengan
Mas Jordie. Semenjak itu aku memperhatikanmu. Awalnya, niatku murni demi
harapan Eza membuatmu berhenti membalap liar. Tapi….. ternyata sulit, aku
menyerah Mas! “ katanya diakhiri nada sedikit meninggi. Ada kepedihan yang
mendalam dimatanya. Bukan karena kehilangan seorang yang pernah dicintainya.
Tetapi seperti kekecewaan yang teramat sangat kepada seseorang didepannya. Itu
aku. “Lun, maafin aku” ujarku perlahan. Luna mulai brjalan perlahan menuju
rumahnya. Tiga rumah berseberangan dengan rumah Eza. Aku mengikutinya sampai ia
berhenti di depan pagar rumahnya. “ Mas Galang, tak ada yang salah. Aku pasti
akan menyesal kalau aku ndak bisa mewujudkan harapan Eza.” Aku melihat setetes
airmata dipipinya. Isak tangisnya terdengar menyatu dalam ucapannya tadi.
“Lun, makasih. Kamu
masih sudi memperhatikanku sampai sepagi ini. Dan sempat melihatku terpuruk
dalam kekalahan. Maaf Lun . . .” ucapanku tak mampu menahan sesalku ini. Luna
masih menungguku mmengucapkan sesuatu. “Lun, ajari pengecut ini menggunakan
kunci masa depannya. Ajari aku Lun. Aku Mohon” Luna hanya mengangguk sekali.
Dia pun masuk dan menutup pintu gerbang rumahnya tanpa menengok ke arahku. Aku
tersenyum dan mempunyai semangat baru menanti surat tinta merah dari dewi
penolongku.
#
# #